Rabu pagi saya ketemu dengan Prof. Paulina Panen, teman lama, di lobi Gedung Rektorat Unesa. Prof. Paulin adalah dosen UT (Universitas Terbuka) yang dikenal sebagai ahli pembelajaran daring (online learning). Pernah menjadi Dekan FKIP UT, Dekan FKIP Sampurna University, dan Staf Ahli di KemristekDikti. Beliau datang ke Unesa untuk memperkenalkan ICE Institute (Indonesia Cyber Learning Institute) dan mengajak Unesa untuk bergabung. Seperti lazimya teman lama yang bertemu, kami ngobrol bebas walaupun hanya sebentar. Prof. Paulin menyelaskan tentang ICE Institute apa isinya dan kemana arah pengembangannya. Mendengar itu, saya bertanya apakah akan seperti Coursera dan dijawab “ya”. Coursera asli Indonesia, begitu kira-kita jawaban beliau. Saya mendukung gagasan tersebut dengan memberi beberapa usulan.

Apa itu Coursera? Kita dapat mencari informasi lengkap di webb-nya. Mudahnya, Coursera itu mirip dengan Tokopedia, Bukalapak, Beli-beli, OLX, Shoppy dan sejenisnya. Dagangannya matakuliah atau matalatih. Penyedia “barangnya” adalah universitas terkenal di berbagai negara dan penyelenggara kursus top dan juga kalangan industri besar. Mahasiswa atau orang umum dapat mengambil matakuliah atau pelatihan melalui Coursera. Jika selesai peserta akan mendapatkan semacam sertifikat. Jika yang bersangkutan sedang kuliah, dapat saja hasil kuliah atau pelatihan dengan bukti sertifikat tersebut diajukan untuk mendapat pengakuan dari universitas dimana yang bersangkutan kuliah. Seperti biasa menggunakan jalur credit transfer atau RPL (recognition of prior learning). Konon Coursera menjamin mutu kuliah dan kursus yang ditawarkan. Jadi sangat mungkin mudah diakui oleh universitas lain.
Jadi kalau Kemendikbudristek meminta universitas menerapkan MBKM dan mahasiswa menempuh sekian kredit dari universitas lain atau dunia kerja, maka Coursera sudah menawarkan itu sejak sekian tahun lalu. Apakah yang mengikuti Coursera hanya mahasiswa? Ternyata tidak. Banyak orang yang sudah bekerja mengikuti kursus atau matakuliah di Coursera untuk mendukung pekerjaannya. Anak saya mengambil matakuliah tentang Penelitian Kualitatif untuk mendukung pekerjaannya. Juga ada orang yang ikut untuk sekedar tahu tentang sesuatu. Ada teman anak saya, seorang pensiunan, mengambil pelatihan di Coursera karena ini tahu tentang cara kerja panel sel surya. Jadi bukan untuk kuliah dan juga bukan untuk bekerja.
Mengapa saya mendukung pengembangan ICE Institute yang mirip Coursera? Karena menurut saya, pola kuliah atau kursus seperti itu akan menjadi tren ke depan. Dilihat dari sudut kepentingan mahasiswa, dengan cara itu mahasiswa dapat mudah memperoleh kuliah dari ahli yang diinginkan dengan mutu yang terjamin. Dari sudut manajemen perguruan tinggi juga lebih efisien, karena perguruan tinggi tidak perlu menyediakan dosen untuk seluruh matakuliah yang diperlukan mahasiswa. Saya pernah memberikan contoh, jika mahasiswa Unair atau Unesa atau ITS ingin menempuh matakuliah ke-Islaman yang “dalam” dan ahlinya hanya ada di UIN Sunan Ampel, yang bersangkutan melalui ICE Institute. Sebaliknya jika mahasiswa UIN ingin memperdalam matakuliah tentang Fisika dan dosen untuk itu hanya ada di ITS, mahasiswa dapat menempuhnya melalui ICE Institute.
Apa bedanya dengan yang selama ini sudah terjadi. Bukankah selama ini sudah ada MBKM dan perguruan tinggi diwajibkan menerima mahasiswa dari luar universitasnya. Konon Coursera tidak begitu saja menerima jika ada universitas, lembaga pelatihan dan industri ingin menawarkan melalui Coursera. Dilakukan penelusuran atau cara lain untuk memastikan yang ditawarkan tersebut memenuhi mutu minimal yang ditentukan. Saya mimpi ICE Institute juga melakukan seperti itu, sehingga mahasiswa atau orang biasa yang mengambil matakuliah atau kursus mendapatkan layanan mutu yang bagus. Sampai saat ini yang ditawarkan oleh Coursera baru kuliah dan kursus secara online. Pada hal tidak semua matakuliah dan kursus yang memerlukan keterampilan dapat dilaksanakan secara online. Mudah-mudahan pada saatnya ICE Institute dapat juga menyediakan matakuliah matakuliah atau kursus yang juga ada keterampilannya. Semoga.
Muchlas Samani



learning loses itu eksponensial. Semakin tinggi kelas di SD semakin serius learning loses-nya. Akibat pandemi ini, siswa kelas 1 seakan-akan terlambat belajar selama 10 bulan, siswa kelas 2 seakan tertinggal 18 bulan dan siswa kelas 3 seakan tertinggal 27 bulan. Jadi seakan-akan siswa kelas 3 saat ini kemampuannya setara dengan siswa kelas 1 yang belajar selama 6 bulan. Data itu menunjukkan betapa ngerinya learning loses, yang secara jujur saya juga tidak membayangkan sebelumnya. Apalagi itu terjadi di keluarga kurang mampu, kurang terdidik dan tinggal di daerah pedesaan. Jadi menurut saya dampak pandemi terhadap pendidikan sangat serius.

Mungkin muncul pertanyaan, seperti apa contoh TU? Sebenarnya banyak. Akademi di kalangan TNI dan Polri lebih cocok disebut TU. Karena fokusnya menghasilkan perwita TNI dan Polri yang baik. Semua perguruan tinggi kedinasan atau “kementerian di luar Kemdikbud menurut saya termasuk TU, karena fokusnya menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan kementerian tersebut. Lantas dimana letak risetnya? Di lembaga litbang yang dimiliki kementerian tersebut.
Jika mutu lulusan dimaknai sebagai indicator utama mutu pendidikan, maka hasil SEM tersebut dapat dirangkai sebagai berikut. Mutu pendidikan dipengaruhi sangat kuat oleh kualitas pembelajaran yang terjadi di sekolah, sedangkan mutu proses pembelajaran dipengaruhi oleh kinerja guru, dan kinerja guru dipengaruhi oleh manajemen sekolah. Jika menggunakan teori Pareto, maka bagaimana memperbaiki manajemen sekolah dan kinerja guru menjadi kunci utama dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Tidak semua topik/kompetensi dapat dilaksanakan dengan pembelajaran online. Ada yang bisa dengan mudah, ada yang bisa tetapi tidak mudah, dan ada yang rasanya tidak mungkin dilakukan secara online. Teman-teman guru dan dosen tentu dapat merasakan itu. Hal-hal yang terkait dengan aspek kognitif dan levelnya informatif, guru dapat memandu siswa mencariya di berbagai sumber online. Mbah google adalah salah satu “penunjuk jalannya”. Namun ketika mulai melakukan analisis terhadap informasi tersebut, tampaknya pendampingan secara intensif sangat diperlukan. Penerapan suatu rumus tampaknya juga memerlukan pendampingan. Yang rasanya sulit untuk dilaksanakan secara onlie adalah yang terkait dengan skills. Yang sederhana dan tidak berbahaya masih bisa walaupun tidak mudah. Namun jika gerakan atau keterampilan itu kompleks dan atau berbahaya akan sangat sulit, sehingga memerlukan pendampingan secara tatap muka.
Nah sekolah, bagaimana dengan proses pembelajaran? Saya meyakini, walaupun nanti pandemic sudah berakhir, pembelajaran online akan tetap berjalan. Tidak sendirian, tetapi berpadu dengan “pembelajaran tradisional”. Itulah yan disebut blended learning, atau sederhananya campuran antara pembelajaran online dengan tatap muka. Bukan berarti siswa tidak datang ke sekolah. Bisa saja siswa berada di dalam kelas, tetapi mereka sedang mempelajari materi secara online. Bukan berarti tidak ada guru. Guru ada, tetapi fungsinya membantu jika siswa mengalami kesulitan. Bisa saja setelah beberapa saat siswa belajar online dilanjutkan latihan memecahkan masalah yang dilakukan secara interaktif langsung bersama guru. Alias seperti yang dahulu dilakukan.