ICE Institute dan Coursera

Rabu pagi saya ketemu dengan Prof. Paulina Panen, teman lama, di lobi Gedung Rektorat Unesa.  Prof. Paulin adalah dosen UT (Universitas Terbuka) yang dikenal sebagai ahli pembelajaran daring (online learning). Pernah menjadi Dekan FKIP UT, Dekan FKIP Sampurna University, dan Staf Ahli di KemristekDikti.  Beliau datang ke Unesa untuk memperkenalkan ICE Institute (Indonesia Cyber Learning Institute) dan mengajak Unesa untuk bergabung. Seperti lazimya teman lama yang bertemu, kami ngobrol bebas walaupun hanya sebentar. Prof. Paulin menyelaskan tentang ICE Institute apa isinya dan kemana arah pengembangannya.  Mendengar itu, saya bertanya apakah akan seperti Coursera dan dijawab “ya”.  Coursera asli Indonesia, begitu kira-kita jawaban beliau.  Saya mendukung gagasan tersebut dengan memberi beberapa usulan.

Apa itu Coursera?  Kita dapat mencari informasi lengkap di webb-nya. Mudahnya, Coursera itu mirip dengan Tokopedia, Bukalapak, Beli-beli, OLX, Shoppy dan sejenisnya.  Dagangannya matakuliah atau matalatih.  Penyedia “barangnya” adalah universitas terkenal di berbagai negara dan penyelenggara kursus top dan juga kalangan industri besar. Mahasiswa atau orang umum dapat mengambil matakuliah atau pelatihan melalui Coursera.  Jika selesai peserta akan mendapatkan semacam sertifikat.  Jika yang bersangkutan sedang kuliah, dapat saja hasil kuliah atau pelatihan dengan bukti sertifikat tersebut diajukan untuk mendapat pengakuan dari universitas dimana yang bersangkutan kuliah.  Seperti biasa menggunakan jalur credit transfer atau RPL (recognition of prior learning).  Konon Coursera menjamin mutu kuliah dan kursus yang ditawarkan.  Jadi sangat mungkin mudah diakui oleh universitas lain.

Jadi kalau Kemendikbudristek meminta universitas menerapkan MBKM dan mahasiswa menempuh sekian kredit dari universitas lain atau dunia kerja, maka Coursera sudah menawarkan itu sejak sekian tahun lalu.  Apakah yang mengikuti Coursera hanya mahasiswa?  Ternyata tidak. Banyak orang yang sudah bekerja mengikuti kursus atau matakuliah di Coursera untuk mendukung pekerjaannya. Anak saya mengambil matakuliah tentang Penelitian Kualitatif untuk mendukung pekerjaannya. Juga ada orang yang ikut untuk sekedar tahu tentang sesuatu.  Ada teman anak saya, seorang pensiunan, mengambil pelatihan di Coursera karena ini tahu tentang cara kerja panel sel surya. Jadi bukan untuk kuliah dan juga bukan untuk bekerja.

Mengapa saya mendukung pengembangan ICE Institute yang mirip Coursera?  Karena menurut saya, pola kuliah atau kursus seperti itu akan menjadi tren ke depan.  Dilihat dari sudut kepentingan mahasiswa, dengan cara itu mahasiswa dapat mudah memperoleh kuliah dari ahli yang diinginkan dengan mutu yang terjamin.  Dari sudut manajemen perguruan tinggi juga lebih efisien, karena perguruan tinggi tidak perlu menyediakan dosen untuk seluruh matakuliah yang diperlukan mahasiswa.  Saya pernah memberikan contoh, jika mahasiswa Unair atau Unesa atau ITS ingin menempuh matakuliah ke-Islaman yang “dalam” dan ahlinya hanya ada di UIN Sunan Ampel, yang bersangkutan melalui ICE Institute.  Sebaliknya jika mahasiswa  UIN ingin memperdalam matakuliah tentang Fisika dan dosen untuk itu hanya ada di ITS, mahasiswa dapat menempuhnya melalui ICE Institute.

Apa bedanya dengan yang selama ini sudah terjadi. Bukankah selama ini sudah ada MBKM dan perguruan tinggi diwajibkan menerima mahasiswa dari luar universitasnya.  Konon Coursera tidak begitu saja menerima jika ada universitas, lembaga pelatihan dan industri ingin menawarkan melalui Coursera.  Dilakukan penelusuran atau cara lain untuk memastikan yang ditawarkan tersebut memenuhi mutu minimal yang ditentukan.  Saya mimpi ICE Institute juga melakukan seperti itu, sehingga mahasiswa atau orang biasa yang mengambil matakuliah atau kursus mendapatkan layanan mutu yang bagus. Sampai saat ini yang ditawarkan oleh Coursera baru kuliah dan kursus secara online.  Pada hal tidak semua matakuliah dan kursus yang memerlukan keterampilan dapat dilaksanakan secara online.  Mudah-mudahan pada saatnya ICE Institute dapat juga menyediakan matakuliah matakuliah atau kursus yang juga ada keterampilannya. Semoga.

Muchlas Samani

INSPIRASI PIALA DUNIA BAGI DUNIA PENDIDIKAN

Sebenarnya saya bukan pecandu bola, namun karena Piala Dunia (World Cup) pertandingan tingkat dunia saya perlukan untuk menonton.  Dan Piala Dunia yang baru beberapa hari ini memberi kejutan yang membuat sata bingung.  Nalar saya sulit memahami bagaimana Tim Saudi Arabia dapat mengalahkan Tim Argentina yang dikomandani oleh Lionel Messi-pemain top dunia yang semua pecandu sepak bola pasti mengenalnya. Kekagetan bertambah lagi Ketika Tim Jepang menekuk Tim Jerman.  Kenapa kaget? Karena setahu saya kampiun sepak bola itu negara-negara di Eropa atau Amerika Latin.

Apa yang terjadi kali ini?  Walaupun tidak ahli sepak bola, saya terdorong untuk mencari tahu dengan bertanya ke teman-teman dari Fakultas Ilmu Olahraga yang tentunya tahun tentang hal itu.  Sayangnya saya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.  Yang muncul justru kelakar yang sudah biasa kita dengan “bola itu bundar”.  Akhirnya saya mencoba mencari berbagai informasi dan yang paling mudah yang melalui internet. Pertanyaan yang pertama muncul di benak saya, apakah dalam Piala Dunia suatu negara dapat “mengimpor” pemain dari negara lain?  Pertanyaan itu muncul, karena dalam klub bola jual-beli pemain itu biasa.  Klub yang kaya dapat membeli pemain top, sehingga dapat meningkatkan mutu permaninan timnya.   Untuk itu saya mencoba melacak siapa saja pemain Tim Saudi Arabia saat menekuk Argentina.  Dari nama-namanya, saya yakin mereka orang Saudi. Seorang teman juga menjelaskan dalam Piala Dunia hanya warga setempat yang boleh mewakili negaranya.

Jika semua pemain Saudi Arabia adalah warga negara setempat, bagaimana bisa mengalahkan Tim Argentina?  Untuk mencari jawaban itu saya mencoba mencari video atau tulisan tentang bagaimana Tim Saudi berlatih.  Sayang sekali saya tidak dapat menemukan.  Saya justru menemukan video tentang Ronaldo dan Messi berlatih. Saya terkejut melihat video tersebut.  Ternyata pemain bola sekelas Ronaldo dan Messi itu mau berlatih fisik dan teknis, seperti lari meliuk-liuk diantara tiang dan atau cone.  Mereka juga latihan melompat-lompat dan mendribel bola. Bayangan saya itu bentuk latihan bagi pemain pemula.

Informasi tersebut saya tanyakan ke teman yang faham tentang sepak bola dan mendapat jawaban yang lumayan meyakinkan.  Pemain bola professional sekelas Ronaldo dan Messi, seperti juga pemain olahraga professional lainnya, selalu berlatih keras karena tidak mau performance-nya turun.  Jika performance-nya turun, tidak akan dipakai lagi oleh klub dan itu yang ditakuti oleh para pemain sepak bola professional.  Teman tersebut juga menjelaskan, para pelatih Piala Dunia jauh hari sudah memikirkan strategi latihan dan strategi permainan dengan menggunakan pemain setempat.  Mereka memutar otak bagaimana caranya agar dengan pemain setempat tersebut performance tim dapat maksimal sehingga memenangkan pertandinggan.  Dengan mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan, para pelatih akan BERINOVASI mencari strategi yang diyakini membuat tim-nya bermain bagus.  Dan ternyata INOVASI yang dilaksanakan oleh Tim Suadi Arabia dan Jepang berhasil.

Mendengarkan penjelasan teman tersebut membuat saya merenung, apakah pola pikir tersebut dapat diadaptasi dalam dunia pendidikan ya.  Bukankah menurut Abu Dohuo hasil belajar siswa itu sangat dipengaruhi oleh INOVASI guru dalam mengajar.  Bukankah dalam berinovasi, guru harus memanfaatkan sarana yang ada dan bukan meminta tambahan sarana yang tidak mungkin dipenuhi oleh sekolah. Tetapi guru itu setiap hari mengajar, sehingga kapan punya waktu berlatih?  Pemain sepak bola paling bertanding 1 bulan sekali atau katakanlah 2 minggu sekali, sehingga punya waktu cukup untuk berlatih. Saya jadi teringat tulisan Allwright (1983) yang menjelaskan bahwa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) itu adaptasi dari Classroom Centered Research (CCR) yang tujuan awalnya bukan untuk karya ilmiah tetapi untuk memperbaiki proses pembelajaran di kelas.  Mungkinkah PTK “dikembalikan” seperti asalnya yaitu CCR dan digunakan sebagai wahana INOVASI pembelajaran untuk menggantikan latihan yang memang guru tidak memiliki kesempatan untuk itu?  Dan itu dilaksanakan secara berkelanjutan karena inovasi harus terus dilakukan?  Sebutlah PTK Berkelanjutan (PTK-B).  Jadi meniru pemain bola yang terus menerus berlatih dan berinovasi agar menang dalam pertandingan.

Karena tidak dimaksudkan untuk karya ilmiah, maka kaidah penelitian ilmiah dapat “dilonggarkan”.  Agar lebih mudah memahami, kita tiru pola kerja dokter dalam menangani pasien.  Data rekam medis merupakan andalan dokter saat menangani pasien. Dari rekam medis diketahui riwayat sakit pasien dan pengobatan serta treatment yang pernah diberikan.  Jika pasien diberi obat tertentu dan ternyata belum sembuh akan dianalisis apa yang kurang tepat dan apa obat yang lebih cocok. Mungkinkah itu diadaptasi dalam PTK-B?  Guru memiliki catatan tentang apa yang dilakukan, bagaimana respons siswa dan bagaimana hasil belajarnya.  Catatan tersebut didokumentasikan menjadi Catatan Kelas (CK) yang memuat riwayat inovasi pembelajaran di kelas tertentu. Dengan mencermati CK guru dapat memperbaiki pembelajaran agar respons siswa dan hasil belajarnya lebih baik. Apakah data pada CK dapat dijadikan bahan menyusun karya tulis ilmiah?  Tentu saja bia. Namun dengan mensistematisasi agar memenuhi kaidah karya ilmiah.  Namun tetap harus diingat bahwa tujuan pokok PTK-B dan CK adalah untuk memperbaiki proses pembelajaran. Karya tulis yang dihasilkan hanyalah bonus bukan tujuan utama.  Semoga.

Muchlas Samani

PERLUNYA KONDUKTOR PENDIDIKAN

Tanggal 1 Oktober pagi, saya mengikuti Temu INOVASI ke-12 secara daring. INOVASI adalah nama suatu program kerjasama antara Pemerintah Australia dan Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar.  Seperti biasanya acara diawali sambutan oleh wakil dari Kedubes Australia di Jakarta, hari itu oleh Daniel Wood-Counselor Human Development, dilanjutkan sambutan oleh Pak Subandi-Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas dan oleh Pak M. Zain yang mewakili Dirjen Pendidikan Agama Islam Kemenag.  Setelah itu disambung dengan pembicara kunci yaitu Pak Mark  Heyward-Direktur Program INOVASI dan Ka Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan-Pak Anindito Aditomo, Kemdikbudristek.

Isi bagian awal biasa-biasanya saja dan sudah sering kita dengar, yaitu terjadinya learning loses akibat pandemi yang ternyata memperlebar gap hasil belajar antara anak-anak yang tinggal di kota dengan jaringan  internet bagus dengan anak-anak yang tinggal di pedesaan yang jaringan internetnya kurang bagus atau bahkan tidak ada, antara anak-anak dari keluarga mampu sehingga di rumah memiliki sarana IT bagus dengan anak-anak dari keluarga kurang mampu sehingga tidak memiliki sarana IT memadai atau bahkan tidak punya sama sekali, antara anak-anak dari keluarga terdidik sehingga dapat membantu belajar di rumah dengan anak-anak dari keluarga kurang terdidik sehingga tidak dapat membantu anaknya belajar.

Namun yang agak mengerikan ternyata learning loses itu eksponensial.  Semakin tinggi kelas di SD semakin serius learning loses-nya.  Akibat pandemi ini, siswa kelas 1 seakan-akan terlambat belajar selama 10 bulan, siswa kelas 2 seakan tertinggal 18 bulan dan siswa kelas 3 seakan tertinggal 27 bulan.  Jadi seakan-akan siswa kelas 3 saat ini kemampuannya setara dengan siswa kelas 1 yang belajar selama 6 bulan.  Data itu menunjukkan betapa ngerinya learning loses, yang secara jujur saya juga tidak membayangkan sebelumnya.  Apalagi itu terjadi di keluarga kurang mampu, kurang terdidik dan tinggal di daerah pedesaan.  Jadi menurut saya dampak pandemi terhadap pendidikan sangat serius.

Yang lebih menarik adalah paparan Pak Supriyono-Ketua Forum Madrasah Inklusif, Bu Yuliana-Guru SD di Sumba Tengah, Pak Suparmin-Kabid GTK Kabupaten Bulungan, yang kemudian dikuatkan oleh Bupati Bulungan-Pak Syarwani dan Bupati Lombok Tengah-Pak Paulus Limu.  Paparan Pak Pri, Bu Yuliana, dan Pak Parmin menunjukkan bahwa mereka bersama tim-nya melakukan inovasi yang sangat bagus ketika menghadapi pandemi.  Lebih dari itu ketiganya, meminjam istilah Pak Totok Suprayitno-moderator, seakan “sedia payung sebelum hujan”.  Maksudnya inovasi itu sudah dilakukan sebelum ada pandemi covid.  Literasi dan numerasi khususnya di SD kelas awal memang menjadi program INOVASI dengan intensif di sekolah yang menjadi binaannya.  Namun yang mencengangkan program itu dilaksanakan oleh Pak Pri,  Bu Yuliasa dan Pak Parmin dengan berbagai inovasi yang disesuaikan dengan kondisi setempat.  Kerennya menggunakan konsep PDIA (problem driven iterative adaptation).  Dan ternyata inovasi tersebut didukung penuh oleh Bupati sebagai pemimpin tertinggi di kabupaten.

Ketiga orang itu secara jujur mengatakan belum mengetahui dampak apa yang dilakukan terhadap hasil belajar siswa.  Yang sudah diketahui betapa para guru bersemangat dan para siswa antusias dalam belajar. Anak-anak merasa enjoy karena belajar sesuai dengan kemampuan mereka dan terkait dengan kehidupan sehari-hari mereka.  Bahkan Pak Parmin menyampaikan sudah banyak sekolah yang menerapkan pola tersebut.

Mendengar cerita itu, saya merasa seakan melihat lilin-lilin kecil di kegelapan malam.  Memang lilin-lilin itu hanya mampu menerangi sedikit lingkungan di sekitarnya.  Namun lilin-lilin kecil itu menyala dengan sendirinya. Dan saya meyakini, sebenarnya banyak lilin-lilin (inovasi pendidikan) di berbagai pelosok tanah air tercinta ini. Saya pernah juga mendengar teman melakukan hal serupa di daerah Semarang Jawa Tengah, daerah Probolinggo Jawa Timur, Riau dan sebagainya.  Ibarat musik di negeri ini banyak pemusik yang memainkan alat musik tertentu sesuai dengan keahliannya.  Diperlukan dirijen atau konduktor yang menyeiramakan agar menjadi orchestra yang indah.  Mungkin itulah salah satu tugas Pemerintah.  Meminjam istilah David Osborn dalam bukunya Reinventing Government, sebaiknya Pemerintah lebih mengarahkan dari pada menangani sendiri (guiding not rowing).  Pemerintah sebaiknya memberdayakan para inovator seperti Pak Pri, Bu Yuliana dan Pak Parmin untuk terus berkarya dan menularkan pada teman sekitarnya.  Anggaran yang ada akan lebih efektif dan efisien karena lilin-nya telah menyala atas enersi sendiri, tinggal memperkuat agar lebih besar.  Jika semakin banyak lilin-lilin seperti itu saya yakin “pendidikan di negeri ini akan terang”. Semoga.

— Muchlas Samani (masamani@lamdik.or.id) —

RESEARCH UNIVERSITY vs TEACHING UNIVERSITY (Oleh: Muchlas Samani)

Saya tidak tau kapan kedua istilah itu mulai digunakan dan kapan populer di Indonesia. Seingat saya istilah itu kemudian banyak dibicarakan ketika ada kebijakan untuk mendorong universitas di Indoensia menjadi word class university (WCU). Seakan-akan untuk menjadi WCU haruslah menjadi research university (RU). Pemaknaan itu dapat difahami karena WCU selalu dikaitkan dengan perankingan yang dilakukan oleh Times Higher Education dan kadang-kadang oleh Shanghai Jia Tong. Nah universitas yang menduduki peringkat atas ke kedua perankingan itu konon tergolong RU.

Apa sih definisi RU? Biasanya orang mengatakan RU adalah universitas yang misi utamanya melakukan riset (a research university is a university that is committed to research as a central part of its mission). Mungkin akan lebih jelas kalau dikontraskan dengan teaching university (TU) yang biasanya dimaknai sebagai universitas yang fokus utamanya mendidik mahasiswa agar menjadi orang sukses setelah lulus (a teaching university is focused on students and strives to make their success a top priority). Jadi RU dan TU memiliki misi yang berbeda, sehingga fokus programnya juga berbeda.

Karena RU dan TU tidak dapat dibandingkan, maka seharusnya dibuat perankingan terpisah. Katakankah ada urutan RU dari yang sangat baik ke yang kurang baik, dengan cara yang sama dapat dibuat urutan TU dari yang sangat baik sampai yang kurang baik. Tentu indikator yang digunakan untuk metranking RU berbeda dengan yang digunakan untuk meranking TU. Sejauh yang saya ketahui belum ada perangkingan universitas yang khusus untuk TU. Jika ada perankingan TU dugaan saya akan mengerem universitas untuk berbondong-bondong menamakan dirinya RU, walaupun sebenarnya lebih cocok menjadi TU.

Mana yang lebih hebat antara RU dan TU? Menurut saya tidak dapat dibandingkan, karena memiliki misi yang berbeda dan program yang berbeda, tentu kegiatan utamanya berbeda. Jika kegiatan utamanya berbeda tentunya sumber daya dan sarana-prasarana yang diperlukan juga berbeda. Mungkin mirip antara toko sayur dan toko buah. Karena dagangannya berbeda, tentu memerlukan SDM dan sarana-prasarana yang tidak sama. Memang toko sayur juga menyediakan beberapa jenis buah tetapi tentu hanya sedikit porsinya. Demikian pula toko buah, mungkin juga menyediakan sayur tetapi juga sedikit porsinya. Mungkin juga ada toko besar yang memang sebagai toko buah sekaligus toko sayur, sehingga menyediakan keduanya secara “lengkap”, namun yang seperti ini tentu memerlukan SDM dan sarana-prasarana yang besar. Memang juga ada toko kecil tetapi menyedikan sayur dan buah sekaligus. Namun yang seperti itu biasanya bukan toko buah yang lengkap dan juga bukan toko sayur yang lengkap.

Mirip dengan analagi itu, RU juga memiliki mahasiswa dan melaksanakan proses pendidikan, tetapi juga bukan fokus utamanya. Atau bahkan hanya untuk mendukung riset yang menjadi fokus utamanya. Pada universitas seperti itu biasanya mengutamakan program pendidikan S2 dan S3 karena dapat dikaitkan langsung dengan riset yang dilakukan oleh para dosennya. Lulusannya diharapkan juga akan menjadi peneliti yang handal, sehingga proses pembelajaran lebih banyak berupa “nyantrik” kepada peneliti handal yang menjadi dosen di RU tersebut. Sebaliknya, TU tentu juga memiliki kegiatan riset, namun itu bukan fokus utamanya dan riset-riset yang dilakukan lebih banyak diarahkan untuk mendukung proses pendidikannya. Dari mana pengembangan kelimuan untuk updating para dosen di TU? Diperoleh dari RU yang memiliki bidang keilmuan sejenis. Jadi tugas utama dosen di TU bukan menemukan dan atau mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi menggunakannya untuk menyiapka SDM yang siap memasuki lapangan kerja. Mungkin ada universitas yang mampu sebagai RU dan TU, tetapi tentu memerlukan SDM yang banyak dan bagus untuk keduanya dan juga memiliki sarana-prasarana yang mumpuni untuk keduanya. Mungkin juga ada universitas “kecil” yang ingin menangani keduanya, namun sangat mungkin tidak dapat menjadi RU yang baik dan juga tidak dapat menjadi TU yang baik.

Mungkin muncul pertanyaan, seperti apa contoh TU? Sebenarnya banyak. Akademi di kalangan TNI dan Polri lebih cocok disebut TU. Karena fokusnya menghasilkan perwita TNI dan Polri yang baik. Semua perguruan tinggi kedinasan atau “kementerian di luar Kemdikbud menurut saya termasuk TU, karena fokusnya menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan kementerian tersebut. Lantas dimana letak risetnya? Di lembaga litbang yang dimiliki kementerian tersebut.

Apakah semua universitas/perguruan tinggi dibawah Kemdikbud termasuk RU? Menurut saya tidak dan sebaiknya setiap universitas/perguruan tinggi tersebut memastikan diri sebagai RU atau sebagai TU. Boleh juga menjadi RU dan TU tetapi dengan kesadasaran bahwa untuk itu diperlukan SDM dan sarana-prasarana yang besar. Yang perlu dihindari adalah ketidakjelasan misi, sehingga membuat programnya juga tidak jelas. RU bukan,TU juga bukan. Atau ingin menjadi RU sekaligus TU tetapi tidak memiliki SDM dan sarana-prasarana yang memadai sehingga mustahil tercapai.

Pada konteks Indonesia rasanya diperlukan lebih banyak TU dibanding RU. Indonesia memerlukan sangat banyak SDM bidang operasional berbagai jenis industri, baik manifaktur, pertanian, perikanan, perdagangan, pariwisata, jasa dan sebagainya. Bukan berarti kita tidak memerlukan hasil-hasil penelitian untuk mempercepat perkembangan industri tetapi tentu tidak sebanyak SDM bidang operasional.

Karena baik RU dan TU sama-sama diperlukan dan tidak dapat diperbandingkan, maka keduanya memerlukan penghargaan yang setara. Artinya universitas yang memutuskan menjadi TU dan berhasil baik harus diberi penghargaan yang setara dengan universitas yang memutuskan menjadi RU dan berhasil baik. Dengan demikian tidak harus semua universitas menjadi RU dan sebaliknya juga tidak semuanya menjadi TU. Bagaimana komposisi antara RU dan TU memerlukan kajian yang mendalam. Konon Malaysia pada awalnya hanya menunjuk empat universitas yang kemudian menjadi enam buah menjadi RU. Menurut saya Indonesia juga perlu merumuskan berapa buah universitas yang ditugasi menjadi RU dan dalam bidang ilmu apa saja, yang sesuai dengan kebutuhan negara. Sedangkan lainnya lebih baik menjadi TU untuk menghasilkan SDM yang diperlukan pembanguna negara ini.

Bagaimana dengan LPTK? Menurut saya LPTK itu perguruan tinggi “semi kedinasan”, karena dibawah pembinaan Kemdikbud dan lulusannya berupa guru juga bekerja di sekolah yang berasa di bawah pembinaan Kemdibud. Kemdikbud tentu tahu kualifikasi dan kompetensi guru yang diperlukan, berapa jumlahnya dan apa saja jenisnya. Dengan begitu dapat dilakukan perancangan berapa LPTK yang diperlukan dan apa saja program studinya, bahkan di mana lokasi yang tepat terkait dengan geografis Indonesia. Tentu diperlukan beberapa LPTK yang didorong menjadi RU untuk melakukan penelitian berbagai hal yang terkait dengan kependidikan. Semoga.

Faktor Kunci Peningkatan Mutu Pendidikan (Oleh: Muchlas Samani)

Upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Berbagai program, proyek dan terobosan telah dicoba, baik itu yang merupakan inisiatif daerah, inisiatif nasional, bantuan para ahli negara lain, juga para pengelola lembaga pendidikan. namun hasilnya belum menggembirakan.  Data UN (yang akan segera digantikan oleh AKM), hasil PISA dan beberapa data lain menunjukkan kualitas pendidikan kita masih belum menggembirakan.

 Muncul pertanyaan, apa yang salah dalam berbagai upaya tersebut?  Apakah upaya tersebut belum menyentuh problem utama dari pendidikan kita? Kalau menggunakan teori Pareto, apakah berbagai usaha tersebut tidak menyentuh critical factor pendidikan di Indonesia? Dalam Bahasa Surabaya, apakah berbagai upaya tersebut belum sampai pada “punjerannya”? Atau pendekatannya yang keliru?  Atau kita kurang serius dalam melakukan?  Atau, atau, atau lainnya.  Tulisan pendek ini tidak dimaksudkan untuk membahas kemengapaan tersebut di atas, tetapi ingin berbagi tentang hasil analisis terhadap situasi sekolah kita, dengan harapan dapat memberikan satu pandangan berdasar data penelitian.

Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah baru saja melakukan uji coba instrumen baru akreditasinya.  Instrumen tersebut memang baru, tetapi jika dilihat hasil analisisnya menunjukkan validitas dan reliabilitas sangat baik. Pada Gambar 1 tampak bahwa interkorelasi butir-butir (X1-X11) terhadap variabel induknya (ML=mutu lulusan), butir-butir (X12-X18) terhadap variabel induknya (PB=proses pembelajaran), butir-butir (X19-X22) terhadap induknya (MG=kinerja guru), dan butir-butir (X23-X35) terhadap variabel induknya (MSM=manajemen sekolah) cukup baik. Dengan demikian hasilnya cukup kuat untuk digunakan sebagai simpulan.

Gambar 1 juga menunjukkan hasil analisis SEM yang diolah dari lebih seratus sekolah.  Dari gambar tersebut tempak kalau 64% mutu lulusan dapat dijelaskan oleh proses pembelajaran yang terjadi. Sementara 66% pembelajaran dapat dijelaskan oleh kinerja guru.  Dan 92% kinerja guru dapat dijelaskan oleh manajemen sekolah.  Kalau angka-angka tersebut dicermati, semua di atas 60%, yang secara sederhana dapat dimaknai faktor lain tentu lebih kecil.

Jika mutu lulusan dimaknai sebagai indicator utama mutu pendidikan, maka hasil SEM tersebut dapat dirangkai sebagai berikut.  Mutu pendidikan dipengaruhi sangat kuat oleh kualitas pembelajaran yang terjadi di sekolah, sedangkan mutu proses pembelajaran dipengaruhi oleh kinerja guru, dan kinerja guru dipengaruhi oleh manajemen sekolah.  Jika menggunakan teori Pareto, maka bagaimana memperbaiki manajemen sekolah dan kinerja guru menjadi kunci utama dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Temuan tersebut sejalan dengan temuan Abu Dohuo (199) bahwa hasil belajar siswa merupakan inovasi pembelajaran yang dilakukan guru. Untuk dapat melakukan inovasi diperlukan tiga syarat, yaitu guru memiliki kompetensi dan juga memiliki komitmen untuk melakukan inovasi untuk meningkatkan hasil belajar siswa.  Nah, komitmen kerja guru ternyata sangat diperngaruhi oleh iklim kerja dan iklim kerja itu merupakan hasil manajemen sekolah.

Apakah temuan tersebut juga berlaku di perguruan tinggi?  Sampai saat ini saya belum pernah membaca penelitian seperti itu dalam konteks perguruan tinggi.  Namun jika kita baca artikel tentang outcome based education, misalnya artikel Eldeeb dan Shatakumari. (2013) dengan judul Outcome Based Education: Trend Review, juga tentang outcome based accreditation, misalnya Harmanani (2017) dengan judul An Outcome Based Assessment Process for Accrediting Computer Programmes, tampaknya juga berlaku di perguruan tinggi. Tentu sangat baik jika ada penelitian yang mereplikasi penelitian di atas dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia.

BLENDED LEARNING AKAN MENJADI TREND DI ERA PASCA COVID (Oleh: Muchlas Samani)

Ketika memberikan paparan tentang pembelajaran di era pandemic covid-19, saya selalu mengatakan jangan-jangan covid-19 itu bagian dari Allah swt memberi pelajaran kepada kaum pendidik. Bukankah dalam bidang lain penggunaan teknologi digital (IT) telah kira rasakan. Kita sudah hampir tidak pernah mengambil uang ke bank, karena lebih enak ke ATM. Bahkan akhir-akhir ini mengirim ke suadara atau membayar sesuatu kita menggunakan mobile banking. Ketika bepergian naik kereta kita membeli tiket online dan chek in di stasiun juga menggunakan mesin chek in. Majalah, jurnal dan buku elektronik (e-magazine, e-journal, e-book) telah kita unduh dan kita baca. Pertanyaannya, mengapa kita belum mencoba pembelajaran online (e-instruction)?

Setelah selama 6 bulan kita terpaksa melaksanakan pembelajaran onlie, tampaknya guru, dosen, siswa, mahasiswa juga mulai terbiasa. Kita juga terpaksa melakukan rapat-rapat secara online. Bahwa banyak kendala dan banyak kekurangan kita harus mengakui. Namun kita juga harus mengakui ada beberapa manfaat yang kita petik dalam melaksanaan pembeajaran online dan rapat online selama enam bulan ini.

Tidak semua topik/kompetensi dapat dilaksanakan dengan pembelajaran online. Ada yang bisa dengan mudah, ada yang bisa tetapi tidak mudah, dan ada yang rasanya tidak mungkin dilakukan secara online. Teman-teman guru dan dosen tentu dapat merasakan itu. Hal-hal yang terkait dengan aspek kognitif dan levelnya informatif, guru dapat memandu siswa mencariya di berbagai sumber online. Mbah google adalah salah satu “penunjuk jalannya”. Namun ketika mulai melakukan analisis terhadap informasi tersebut, tampaknya pendampingan secara intensif sangat diperlukan. Penerapan suatu rumus tampaknya juga memerlukan pendampingan. Yang rasanya sulit untuk dilaksanakan secara onlie adalah yang terkait dengan skills. Yang sederhana dan tidak berbahaya masih bisa walaupun tidak mudah. Namun jika gerakan atau keterampilan itu kompleks dan atau berbahaya akan sangat sulit, sehingga memerlukan pendampingan secara tatap muka.

Beberapa aspek karakter dan yang terkait dengan “rasa” memerlukan keteladanan sehingga interaksi secara fisikal diperlukan. Memang bisa dicontohkan melalui video tetapi dalam tahap tertentu, keteladanan secara nyata sangat diperlukan. Apalagi kita telah faham bahwa penumbuhkan karakter itu memerlukan waktu lama dan konsistensi dalam kehidupan keseharian.

Di sisi lain, pembelajaran online ternyata juga memberikan dampak positif. Siswa yang biasanya jarang bertanya ketika pembelajaran dilakukan secara tatap muka, tiba-tiba menjadi aktif bertanya dan menyampaikan pendapat. Siswa menjadi terlatih mencari informasi. Jika ketika tatap muka, guru cenderung memberikan informasi secara ceramah, saat pembelajaran online siswa terbiasa mencarinya dari sumber-sumber di dunia maya melalui internet. Rapat secara online ternyata juga efetif, karena peserta dapat mengikuti dari mana saja. Peserta rapat juga menjadi lebih aktif. Bahkan akhir-akhir ini seminar online seakan mewabah dan banyak yang gratis.

Pertanyaannya, apakah ketika pandemic covid-19 dan sekolah telah “dibuka” kembali, apakah pembelajaran online akan hilang dan pola pembelajaran kembali seperti dulu? Sebelum mencoba melakukan analisis, ijinkan saya bercerita dahulu. Beberapa minggu lalu saya ketemu dan ngobrol dengan teman yang menekuni dunia marketing. Beliau mengatakan nanti mall itu akan berubah fungsi. Bukan tempat orang jual-beli, tetapi tempat orang jalan-jalan untuk mencuci mata dan sekaligus sebagai show room. Lantas, dimana jual-belinya? Online. Jadi orang ke mall untuk melihat barang, melihat harga dan jika perlu mencobanya. Tetapi tidak membeli. Setelah mengetahui barang yang dirasa cocok dan jalan-jalan juga sudah puas, akan pulang untuk membelinya secara online dari rumah. Mengapa? Karena harganya lebih murah. Prediksi seperti itu juga sudah disadari oleh para pengusaha, sehingga disamping membuka gerai di mall mereka juga menyediakan layanan penjualan online.

Apa semua barang aman diberi secara online? Ternyata tidak. Kalau barang yang dibeli suatu produk yang standar, misalnya sepatu merk tertentu. Baju merk tertentu, katanya aman dibeli secara online. Tetapi untuk barang-barang yang khas, misalnya baju batik, perhiasan sejenis emas yang tidak memiliki standar tertentu, pembelian sebaiknya dilakukan secara langsung.

Bagaimana dengan gofood? Apakah rumah makan akan sepi setelah pandemic berakhi? Menurut teman saya tadi, tidak. Namun berubah. Orang yang ke rumah makan atau warung adalah mereka yang ingin makan sambil santai bersama dengan teman-teman. Di samping itu, makanan seringkali “berubah rasa” ketika dibawa pulang. Oleh karena itu, rumah makan tidak akan banyak tergerus seperti gerai di mall yang menjual barang non makanan matang. Apa gofood atau sejenisnya akan berhenti? Juga tidak. Orang yang ingin makan karena lapar bukan ingin santai, apalagi malas keluar rumah atau keluar kantor, akan tetapi menggunakan gofood. Jadi keduanya akan tetap jalan.
Nah sekolah, bagaimana dengan proses pembelajaran? Saya meyakini, walaupun nanti pandemic sudah berakhir, pembelajaran online akan tetap berjalan. Tidak sendirian, tetapi berpadu dengan “pembelajaran tradisional”. Itulah yan disebut blended learning, atau sederhananya campuran antara pembelajaran online dengan tatap muka. Bukan berarti siswa tidak datang ke sekolah. Bisa saja siswa berada di dalam kelas, tetapi mereka sedang mempelajari materi secara online. Bukan berarti tidak ada guru. Guru ada, tetapi fungsinya membantu jika siswa mengalami kesulitan. Bisa saja setelah beberapa saat siswa belajar online dilanjutkan latihan memecahkan masalah yang dilakukan secara interaktif langsung bersama guru. Alias seperti yang dahulu dilakukan.

Nah yang sekarang perlu dipikirkan dan disiapkan adalah mana bagian yang dapat atau lebih efektif dilakukan secara online dan mana yang harus secara interaksi tatap muka dengan guru. Terkait dengan online atau tatap muka, mungkin aspek kognitif, afektif dan psikomotor memerlukan cara yang tidak tepat sama. Mungkin juga level SD, SMP, SMA/SMK, dan perguruan tinggi juga memerlukan pendekatan yang berbeda. Semua ini masih baru dan belum ada yang punya pengalaman. Sebaiknya semua guru, dosen apalagi mereka yang ahli pembelajaran melakukan inovasi untuk menyongsong era baru, era blended learning. Semoga.

HOTS: ISTILAH YANG BANYAK DISALAHARTIKAN (Oleh: Muchlas Samani)

Saya tidak ingat kapan istilah HOTS (high order thinking skills) mulai popular di kalangan guru dan para pendidik di Indonesia.  Yang jelas sekarang menjadi salah satu kosa kata penting di dunia pendidikan.  Guru dituntut untuk mengembangkan HOTS pada murid-muridanya.  Konon soal di AKM (asesmen kompetensi minimum) yang nanti akan mengantikan UN (ujian nasional) disusun berbasis HOTS. 

 
Sayangnya masih banyak guru yang belum memahami konsep HOTS dengan baik.  Ketika mengikuti capacity sharing untuk calon dosen pembimbing dan guru pamong yang kelak mendampingi mahasiswa PPG-PGSD (Pendidikan Profesi Guru SD), yang diselenggarakan oleh Kemdikbud bersama Tanoto Foundation, secara jujur beberapa guru menyatakan masih belum memahami konsep HOTS, sehingga bingung ketika harus menerapkan pada muridnya.

 HOTS bukankah definisi tunggal, namun secara umum dimaknai sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mencakup berpikir kritis, kreatif, reflektif dan memecahkan masalah. Sepertinya itulah yang disebut dua C di bagian awal dari 4-C yaitu critical thinking dan creativity. Ada yang membuat definsi lebih singkat, yaitu memecahkan masalah dengan kreatif (solving problem creatively).

Berbagai definisi tersebut sebenarnya saling terkait. Untuk dapat memecahkan masalah secara kreatif tentu diperlukan kemampuan berpikir kritis dan reflektif untuk memahami masalah yang ingin dipecahkan. Sedangkan untuk menemukan pemecahan yang kreatif tentu diperlukan kreativitas tinggi. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom (walaupun tidak benar-benar pas), berpikir kritis dan reflektif itu sejajar dengan level analisis-sintesis dan evaluasi.  Beberapa ahli menyebutnya sebagai bagian dari metakognisi.  Sedangkan berpikir kreatif sejajar dengan mengkreasi dalam taksonomi Bloom.  Itulah sebabnya beberapa orang menyebutkan tiga level di awal taksonomi Bloom (mengingat, memahami, menerapkan) merupakan LOTS (low order thinking skills), sementara tiga level di atasnya (analisis-sintesis, evaluasi, mengkreasi) termasuk HOTS.

Kebingungan muncul lagi, ketika peserta capacity sharing diminta untuk merancang pembelajaran untuk siswa SD Kelas 1 untuk menumbuhkan HOTS.  Seorang guru SD yang telah lama mengajar Kelas 1 SD mengatakan, tidak mungkin itu.  Yang bersangkutan mengajukan argumen karena anak-anak Kelas 1 SD masih dalam taraf berpikir konkret.  Tampaknya guru tersebut mengaitkan dengan teori perkembangan kognitif dari Piaget.  Dengan demikian anak belum dapat berpikir abstrak. 

Seorang peserta lain menunjukkan rancangan pembelajarannya dengan cara menunjukkan sikap gigi yang dikelompokkan  Satu kelompok terdiri dari 3 buah dan satu kelompok lainnya terdiri dari 2 buah.  Nah, anak SD Kelas 1 diminta mengisi semacam persamaan di LK-nya. Melihat itu, seorang peserta lain mengatakan, anak SD kan belum pandai membaca dan menulis, mana mungkin disuruh mengerjakan LK seperti itu.  Mendengar ungkapan itu banyak peserta yang umumnya para guru membenarkan.

Saya coba menengahi dengan mengatakan, bagaimana kalau pertanyaan tersebut diberikan secara lisan?  Jadi anak SD Kelas 1 ditunjukkan gambar atau kalau perlu guru membawa sikat gigi sungguhan dan diperagaan seperti gambar itu.  Kemudian guru bertanya secara lisan, jumlah sikat gigi siapa yang lebih banyak  Apakah siswa dapat menjawab?  Hampir semua peserta mengatakan bisa.  Artinya siswa Kelas 1 SD sudah dapat membandingkan. Ketika saya bertanya, membandingkan seperti itu menutut taksonomi Bloom termasuk apa.  Peserta menjawab, termasuk evaluasi.  Jadi siswa SD Kelas 1 juga sudah bisa melakukan evaluasi, berarti sudah bisa HOTS.  Baru peserta “ngeh”.   Jadi peserta mengatakan anak belum bisa mengatakan anak SD Kelas 1 belum bisa menjawab, lebih dipengaruhi gambaran bahwa anak SD Kelas 1 belum dapat membaca.

Ketika peserta sibuk berdiskusi, saya coba menunjukkan gambar halaman suatu sekolah dan anak dua anak yang lari dari pojok ke pojok lapangan. Katakanlah Budi lari menyusuri pinggir lapangan, sedangkan Tomi berlari memotong tengah lapangan.  Apakah anak SD Kelas 2 dapat menebak siapa yang lebih sampai lebih dahulu.  Serentak peserta mengatakan bisa.  Saya tanya lagi, apakah yakin anak SD Kelas 2 bisa.  Dijawab bisa. Saya tanya lagi, kira-kira bagaimana anak SD Kelas 2 bisa sampai simpulan Tomi lebih cepat sampai?  Seorang peserta yang kebetulan guru kelas 2 mengatakan, anak SD Kelas 2 akan melihat jalur yang ditempuh Tomi lebih pendek, sehingga akan lebih cepat sampai.  Anak SD Kelas 2 dapat membandingkan, karena bisa di lihat dengan jelas. Bukankah itu membandingkan?  Bukankah itu pada dasarnya evaluasi? Berarti anak SD Kelas 2 sudah dapat sampai pada evaluasi menurut Bloom. Jadi kembali bahwa anak SD Kelas 1 dan Kelas 2 sudah dapat HOTS, karena dapat melakukan evaluasi.Ketika waktu istirahat, beberapa peserta diskusi apakah soal HOTS dikaitkan dengan soal-soal ulangan yang sulit.  Kepada mereka saya ajukan pertanyaan, jika anak SD Kelas 3 diminta mengerjakan soal:

                                           1/7 + 0, 42 X 2/6 = ………………………………

Apakah mereka dengan mudah dapat mengerjakan?  Serentak, mereka menjawab “sulit pak”. Saya bertanya lagi, jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, pengerjaan soal tersebut termasuk kategori apa ya.  Dijawab penerapan, karena hanya menerapkan prinsip penjumlahan dan perkalian.  Saya bertanya lagi, jadi termasuk HOTS atau LOTS. Dijawab LOTS.  Jadi ada soal ulangan yang sulit, pada hal termasuk LOTS.  Sementara tadi ada soal yang mudah, buktinya dapat dikerjakan anak SD Kelas 1 tetapi termasuk HOTS.  Kesimpulannya tidak semua soal HOTS itu sulit dan tidak semua soal LOTS itu mudah.  Dengan kata lain, tingkatan berpikir tidak selalu sejalan dengan tingkat kesukaran soal. 

Jadi bagaimana cara mudah memahami HOTS?   HOTS biasanya mengaitkan dua konsep atau fenomena yang kemudian dikaitkan.  Dalam contoh di atas anak membandingkan dua fenomena, yaitu jumlah sikat gigi dan membandingkan jarak lintasan lari.  Untuk membandingkan dua konsep, misalnya mengapa di bawah pohon yang rindang rumput tidak tumbuh?  Rumput utuk tumbuh dengan baik memerlukan sinar matahari, sementara di bawah pohon yang rindang sinar matahari tidak tembus. Contoh lain, mengapa waktu hujan deras air sungai besar berwarna coklat?  Air sungai besar biasanya berasal dari gunung atau perbukitan. Waktu hujan air akan membawa tanah yang menyebabkan air berwarna coklat